Memetik Hikmah di Balik Masalah

Hampir semua bentuk penderitaan batin yang dialami manusia datang dari pikiran, baik dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan atas masa lalu. Bahkan tidak hanya derita batin, penderitaan fisik pun—seperti sakit, kemiskinan, ketidakberdayaan—juga sebagian besar bersumber dari dunia kecil dalam diri manusia yang disebut pikiran.

Dalam kajian psikologi, keadaan memikirkan sesutu secara terus-menerus akan membentuk pola pikir. Pola pikir inilah yang mempengaruhi tindakan atau keputusan.Saat kecemasan yang berlebihan melanda, masalah-masalah sepele akan tampak serius dan rumit seperti benang ruwet. Kita akan mengalami kesulitan berkonsentrasi untuk mengurai masalah itu secara rasional. Dampaknya, tindakan-tindakan kita pun akan tampak sporadis, tak teratur alias kacau balau.

Dunia psikologi menyebut kecemasan berlebihan itu dengan istilah overthinking. Overthinking muncul karena seseorang terus mengingat dan memikirkan hal-hal tertentu yang dia anggap membahayakan hidupnya. Ia bisa jadi muncul dari kenangan pilu di masa silam, atau bayang-bayang kegagalan di hari esok.

Hari-hari ini, banyak orang cemas menghadapi hari esok. Ketika pandemi tiba-tiba datang dan seolah menghentikan semua aktivitas. Lewat media massa kita mendengar keluh kesedihan para karyawan yang terkena PHK atau tetap bekerja dengan separuh gaji, para pekerja harian dan pedagang kaki lima yang mengeluhkan sulitnya mencari pembeli.

Tidak saja dialami oleh usaha skala mikro dan kecil, pandemi juga berdampak pada usaha berskala besar. Awal tahun mereka sangat optimis dengan rencana ekspansi usahanya, tiba-tiba harus mengerem mendadak di pertengahan Maret setelah pandemi merebak dan pemerintah membatasi aktivitas sosial.

Semua orang, tanpa kecuali, hari-hari ini dilanda kecemasan. Ada yang cemas dan takut tertular Corona, ada yang cemas dan takut pada nasib usahanya. Syok atas kejadian yang mendadak itu sebetulnya naluriah. Justru aneh jika orang tidak terkejut atas tragedi yang menimpa hidupnya atau lingkungannya.

Ketika bulan demi bulan berlalu dan tidak juga ada tanda-tanda pandemi akan segera berakhir, secara naluriah kita pun bertanya; sampai kapan kondisi seperti ini berakhir. Sampai kapan kita mampu bertahan menghadapinya? Pada level ini kecemasan semakin meningkat.

Persoalannya adalah, apakah kita hendak memperturutkan kecemasan tersebut atau mengelolanya? Orang yang terus-menerus memperturutkan kecemasannya akan mengalami kegagalan mengendalikan emosi, dan selanjutnya akan menemukan dirinya berada dalam kesulitan menemukan solusi atas masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, orang yang berhasil mengelola kecemasannya akan menemukan “sesuatu” di balik masalah yang dihadapinya, apa pun jenis dan skala masalah tersebut.

“Sesuatu” tersebut adalah hikmah. Dalam khasanah Islam, hikmah memiliki banyak arti positif. Namun yang paling relevan dalam konteks yang kita bahas ini adalah kemampuan seseorang untuk mengambil pelajaran dari masalah yang dihadapinya. Imam Al Ghazali memahami kata hikmah dalam arti pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama. Orang Inggris menyebutnya wisdom. Wisdom adalah pengertian dan pemahaman yang dalam mengenai suatu kejadian atau situasi, yang menghasilkan kemampuan untuk menerapkan persepsi, penilaian dan perbuatan.

Begitu pentingnya kedudukan hikmah, sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda; “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi).

Kecemasan itu Baik

Para pakar psikologi sepakat bahwa kecemasan atau ketakutan dalam kadar normal tetap dibutuhkan sebagai mesin pendorong bagi manusia untuk melakukan perubahan. Orang yang tidak memiliki rasa cemas dalam dirinya ibarat kendaraan tanpa bahan bakar. Bahan bakar diperlukan untuk menciptakan percikan api dalam ruang mesin untuk kemudian menggerakan semua komponen mesin. Orang yang sama sekali tak pernah khawatir akan masa depannya akan cenderung santai-santai dan abai terhadap kemajuan dirinya sendiri. Ia hidup tanpa api semangat. Kecemasan dalam kadar normal akan menimbulkan hasrat dan energi untuk mencari solusi.

Analoginya begini: seorang ayah khawatir akan gejala lingkungannya yang marak pengguna narkoba dan perilaku amoral lainnya. Dilatari kekhawatiran itu maka kemudian ia berjuang agar bisa memiliki rumah di lingkungan syari, agamis yang menawarkan atmosfer kebaikan pada tumbuh kembang anaknya. Dengan perjuangan kerasnya, ia berhasil membeli rumah di perumahan kawasan Islami.

Sementara itu, ada seorang ayah yang sama sekali tidak cemas terhadap pengaruh lingkungan yang buruk terhadap perkembangan anaknya. Ia menandang lingkungan sekelilingnya sebagai fakta yang normal yang tidak perlu dihindari atau diubah. Ia biarkan anak-anaknya bergaul dengan para pecandu narkoba. Ia tak berupaya melakukan perubahan. Ia tidak pernah cemas akan hal itu.

Bisa kita tebak, masa depan seperti apa yang bakal terjadi pada kedua anak dari dua kelaurga tersebut?

Sampai sejauh ini, bisa kita simpulkan, kecemasan dalam kadar normal memiliki nampak positif sebagai energi pendorong bagi diri kita untuk berubah mengambil langkah-langkah menuju arah yang lebih baik.

Namun kecemasan yang berlebihan juga sangat berbahaya. Pada kadar yang ekstrem, kecemasan berlebihan akan membawa seseorang pada depresi. Depresi adalah kondisi emosional ketika seseorang tidak lagi memiliki kegembiraan, hasrat dan harapan. Kondisi ini tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sebaliknya, kecemasan berlebihan hanya akan membawa kita pada lorong gelap sehingga kita selalu melihat hari esok sebagai sebuah era yang menakutkan. Dampaknya kita akan selalu melihat masa depan dengan sikap putus asa dan tak berpengharapan. Kita akan gagal mengambil kesempatan dan peluang yang setiap saat lewat di hadapan kita.

Dengan demikian keberhasilan kita keluar dari krisis akibat pandemi ini tergantung bagaimana kita mengambil hikmah di baliknya. Apakah kita melihat musibah ini sebagai tembok penghalang meraih sukses atau melihatnya sebagai peluang dan tantangan.

Share:

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Office

Jl. Dahlia 1 Orchid Residence Blok i3, Beji, Kota Depok

Jl. Wisma Lidah Kulon, A-105, Surabaya

Contact

  • 081-5510-22-11
  • biograph.id@gmail.com