Membangun Etos Perintis

q leader kecil

Oleh Isro Umarghani–Direktur Sekolah Asy-Syaamil Bontang

Tanpa pemimpin berjiwa perintis, tak akan ada Muhammadiyah. Persyarikatan itu didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada usia 44 tahun. Ia melabrak kejumudan zamannya lewat pendidikan dengan pola pendekatan baru yang memadukan pendidikan umum dan agama. Sebagaimana umumnya pembaharu, ia pun mengundang kontra. Tapi KH Ahmad Dahlan tetap bergerak menerobos berbagai tantangan demi tercapainya visi hidupnya yang kemudian ditransformasi menjadi visi persyarikatan Muhammadiyah; membumikan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Tanpa orang-orang berjiwa perintis tak akan ada Indonesia. Bayangkan saat itu bangsa kita ditekan penjajahan selama ratusan tahun. Mental sebagai bangsa terjajah sudah terlanjur mengurat-nadi. Karenanya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang beretos perintis yang mampu mendobrak mental block sebagai bangsa yang kalah. Maka hadirlah Soekarno, Hatta, M Natsir, Mohammad Roem, Hamka dan lain-lain. .Perintis hadir untuk mengakhiri kejumudan, mengeluarkan kelompoknya dari tekanan atau membawanya pada harapan baru. Perintis adalah mereka yang meyakini bahwa selalu ada harapan di balik keputusasaan, selalu ada jalan keluar di balik kebuntuan, selalu ada kemungkinan di balik kemustahilan.

Pada dekade 80-an hingga 2000-an, dunia Barat mengenalkan kita pada konsep kecerdasan baru yang kemudian kita kenal dengan 3Q; spiritual quotient, emotional quotient dan intelektual quotient. Tiga kecerdasan tersebut—dengan berbagai variannya—disebut-sebut sebagai syarat kesuksesan seseorang. Saya sepakat untuk menjadi pribadi unggul, kuncinya ada pada “Q”.

KH. Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari adalah contoh figur pemimpin dengan kadar Q di atas rata-rata. Saya menerjemahkan Q sebagai tiga keunggulan; Qalbu (jiwa, perasaan), Quality (kualitas), dan Quotient (kecerdasan). Bila kita kaji secara lebih mendalam, sebetulnya rumusan itu sudah lengkap disajikan dalam Al-Qur’an dan dibuktikan secara empirik oleh Rasulullah Saw, sahabat serta para pemimpin, pembaharu dan pemikir Islam sesudahnya.

Yang menarik disimak, organisasi-organisasi besar di Indonesia bergerak di dua lapangan yang sama, lapangan pendidikan dan lapangan sosial. Sebut saja Muhammadiyah, NU dan Persis. Ini menandakan para pendahulu kita sadar betul bahwa pendidikan adalah pintu masuk yang paling efektif menuju alam pencerahan. Kata Imam Syafi’i; ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah (hidayah) tidak diberikan kepada orang yang melakukan maksiat.

Karena itulah dalam pandangan saya, peran pendidikan Islam, selain berkewajiban untuk mencetak manusia berakhakul karimah, tak kalah penting adalah mencetak manusia berkarakter perintis (pelopor, pionir) dan reformis (pembaharu/inovator). Itulah yang menjadi concern saya selama 30 tahun ini, baik saya lakukan di lapangan sosial, pemerintahan atau pendidikan.

Share:

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on pinterest
Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram

Office

Jl. Dahlia 1 Orchid Residence Blok i3, Beji, Kota Depok

Jl. Wisma Lidah Kulon, A-105, Surabaya

Contact

  • 081-5510-22-11
  • biograph.id@gmail.com